Derajat
kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu : lingkungan, perilaku, pelayanan
kesehatan dan keturunan. Faktor lingkungan dan perilaku sangat mempengaruhi
derajat kesehatan. Termasuk lingkungan yaitu keadaan pemukiman/perumahan,
tempat kerja, sekolah dan tempat umum, air dan udara bersih, teknologi,
pendidikan, sosial dan ekonomi. Sedangkan perilaku tergambar dalam kebiasaan
sehari-hari seperti pola makan, kebersihan perorangan, gaya hidup, dan perilaku
terhadap upaya kesehatan.
Adanya kebutuhan
fisiologis manusia seperti memiliki rumah, yang mencakup kepemilikan jamban
sebagai bagian dari kebutuhan setiap anggota keluarga. Kepemilikan jamban bagi
keluarga merupakan salah satu indikator rumah sehat selain pintu ventilasi,
jendela, air bersih, tempat pembuangan sampah, saluran air limbah, ruang tidur,
ruang tamu, dan dapur.
Jamban sehat
berfungsi untuk membuang kotoran manusia, ada berbagai macam bentuk seperti
leher angsa, cubluk, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan sarana pembuangan
air besar, hubungannya yang paling mendasar dengan kualitas lingkungan yakni
fasilitas dan jenis penampungan tinja yang digunakan. Masalah kondisi
lingkungan tempat pembuangan kotoran manusia tidak terlepas dari aspek
kepemilikan terhadap sarana yang digunakan terutama dikaitkan dengan
pemeliharaan dan kebersihan sarana.
Peningkatan
sanitasi diupayakan pemerintah agar dapat berjalan dengan baik untuk mendukung
komitmen nasional dalam pencapaian target kesepakatan pembangunan negara-negara
di dunia yang tertuang dalam Sustainable
Development Goals (SDG’s). Salah satu target SDG’s terkait sanitasi yakni
terjadinya peningkatan akses air minum dan sanitasi dasar secara berkesinambungan
sebesar separuh dari proporsi penduduk yang belum mendapatkan akses pada tahun
2018. Kebijakan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN 2014-2019) yang juga selaras dengan target SDG’s, menyasar terwujudnya
kondisi sanitasi yang bebas dari Buang Air Besar Sembarangan (BABS) pada tahun
2018.
Berdasarkan
laporan Informasi dan Data Kesehatan di Indonesia tahun 2017 akses sanitasi
layak Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya mencapai 45,31% masih jauh dengan
target Nasional yang sudah ditetapkan yakni harus 100 % pada tahun 2019. Provinsi
Nusa Tenggara Timur menduduki urutan ke 3 dari Provinsi terendah persentasinya.
Menurut
jenis tempat buang air besar yang digunakan, sebagian besar rumah tangga di
Indonesia menggunakan kloset berjenis leher angsa sebesar 84,4%, plengsengan
sebesar 4,8%, cemplung/cubluk/lubang tanpa lantai sebesar 7,2%, dan
cemplung/cubluk/lubang dengan lantai sebesar 3,7%.
Di Propinsi Nusa
Tenggara Timur masih ditemukan penduduk yang buang air besar di area terbuka
sebesar 45,69% (2017). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Ende
tahun 2017, menunjukkan bahwa penggunaan jamban sebagai fasilitas Buang Air
Besar (BAB) di Kabupaten Ende masih rendah yaitu persentase rumah tangga
menurut kepemilikan jamban sehat sebesar 55% sedangkan yang tidak memiliki
jamban sebesar 45% (2017).
Dari beberapa
data puskesmas seperti Puskesmas Riaraja dengan persentase jamban tidak sehat 45%
(2017). Hal ini dibuktikan bahwa masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Riaraja
pada tahun 2017 masih belum memanfaatkan jamban keluarga dengan baik yang
dikarenakan oleh berbagai faktor seperti pengetahuan, sikap, tindakan, sosial budaya,
lingkungan dan ekonomi masyarakat yang masih kurang.
Tingginya angka
pertumbuhan penduduk dan rendahnya pendapatan masyarakat menyebabkan semakin
rumitnya masalah jamban. Disamping itu ada faktor yang menyebabkan masyarakat
belum tahu tentang masalah jamban, karena ada anggapan bahwa semua urusan
sanitasi merupakan urusan pemerintah. Masalah kesehatan lingkungan dapat muncul
sebagai akibat rendahnya tingkat pendidikan penduduk.
Desa
Peozakaramba merupakan salah satu desa di Wilayah Puskesmas Riaraja dengan
jumlah Kepala Keluarga sebesar 130 dengan persentase 4% dari jumlah penduduk
475 Jiwa, bisa dikatakan sangat rendah sekali untuk kepemilikan jamban untuk
setiap Kepala Keluarga yang ada di Desa Peozakaramba.
Untuk mengatasi
hal tersebut Desa Peozakaramba di Wilayah Puskesmas Riaraja menerapkan
arisan jamban sejak tahun 2013. Arisan Jamban atau Boa Jamban (dalam Bahasa
Ende) ini adalah program dari Puskesmas Riaraja karena rendahnya kepemilikan
jamban di sekitar Kecamatan Ende. Boa/Arisan jamban tersebut masuk dalam
program STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) dengan Pelaksana Harian/Sanitarian
Ibu Bernadikta Gau yang bertempat tinggal di Desa Riaraja. Dalam tugasnya
sebagai Sanitarian ibu Bernadikta Gau atau biasa yang dipanggil dengan sebutan
Ibu Erna memberikan inovasi kepada Desa Peozakaramba untuk melakukan kegiatan
ini sehingga puskesmas bisa mewujudkan/melaksanakan gerakan bebas buang air
besar di sembarang tempat atau Open Defecation Free yang biasanya disingkat
ODF. Jadi tidak ada lagi yang buang air besar di sembarangan tempat.
Untuk
pembangunan jamban ini, masyarakat di Desa Peozakaramba cukup membayar uang
sebesar 100.000/KK yang diundi setiap bulan. Pembangunannya dikerjakan secara
bersama-sama dan bergotong royong oleh masyarakat penduduk setempat. Dengan
adanya arisan jamban, rata-rata setiap bulannya sedikitnya ada 2-3 jamban yang
dibangun di Desa Peozakaramba wilayah Puskesmas Riaraja, Kecamatan Ende. Tahun
2018 hingga 2019 diharapkan semua kepala keluarga sudah harus memiliki jamban
pribadi, sehingga masyarakat di Desa Peozakaramba terbebas dari perilaku buang
air besar di sembarang tempat dan bisa meminimalisirkan penyakit yang berbasis
lingkungan semisal diare.
Oleh
karena itu diharapkan kedepannya untuk seluruh masyarakat Kabupaten Ende,
khususnya Desa-desa yang belum 100% mempunyai kelayakan sanitasi dasar (salah
satunya jamban) bisa mengikuti cara/upaya yang dilakukan masyarakat Desa
Peozakaramba yang membuat Boa/Arisan Jamban sehingga kedepannya masyarakat
Kabupaten Ende bisa terbebas dari buang air besar di sembarang tempat serta
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang ada di Kabupaten Ende.
Terima
Kasih